Senin, 11 April 2011

tafsir masyarakat

BAB I
PENDAHULUAN

Salah satu persoalan pokok yang dibicarakan oleh Al-Qur’an adalah tentang masyarakat. Walaupun al-qur’an bukan kitab ilmiah, namun di dalamnya banyak sekali dibicarakan tentang masyarakat. Ini disebabkan karena fungsi utamanya adalah mendorong lahirnya perubahan-perubahan positif dalam masyarakat, atau istilah dalam Al-Qur’an: litukhrija al-nas min al-zulumati ila al-nur (mengeluarkan manusia dari gelap gulita menuju cahaya terang benderang). Dengan alasan yang sama dapat dipahami ketika kitab suci ini memperkenalkan sekian banyak hukum-hukum yang berkaitan dengan tegak runtuhnya suatu masyarakat. Bahkan tidak berlebihan jika dikatakan Al-Qur’an merupakan buku pertama yang memperkenalkan hukum-hukum masyarakat.
Ibnu Khaldum adalah diantara sekian banyak cendekiawan muslim yang pertama membahas secara jelas dan gamblang tentang hukum-hukum yang mengatur masyaraka. Al-Qur’an secara tegas menerangkan bahwa bangsa dan masyarakat mempunyai hukum-hukum dan prinsip-prinsip bersama yang menentukan kebangkitan dan kejatuhannya sesuai dengan proses-proses tertentu. Ayat-ayat yang secara tegas menunjukkan hal tersebut antara lain dalam surat al-isra’/17: 8. Ungkapan yang berkaitan dngan masalah tersebut adalah; “… wa in ‘udtum ‘udna…” ( jika kalian ulangi (kejahatan itu), maka kami akan menghukum lagi). Disini Al-Qur’an mengingatkan dengan mengunakan bentuk jamak yang mewakili kelompok masyarakat Bani Israil.








BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN
Beberapa persoalan yang menjadi perdebatan para ahli adalah tentang bagaimana hubungan individu dengan masyarakat. Untuk menjawab pertanyaan tersebut muncul beberapa pendapat; pertama, bahwa masyarakat terdiri dari individu-individu. Manusia tidak pernah melebur menjad satu sintesa (penggabungan berbagai unsure terpisah untuk membentuk suatu keseluruhan yang saling berkaitan). Artinya keberadaan masyarakat adalah suatu yang tidak berdiri sendidiri melainkan karena dibentuk oleh individu-individu, eksistensi individual yang sebenarnya hakiki. Pandagan kedu, masyarakat dalam pandangan kedua ini bagaikan sebuah mesin yang merupakan suatu sistem yang saling berkaitan antar bagiannya. Kehidupan bermasyarakat merupakan suatu gejala yang bergantng pada mesin masyarakat. Dalam proses ini baik identitas perseorangan maupun identitas lembaga tak sepenuhnya terlebur dalam masyarakat sebagai suatu keseluruhan. Pandangan ketiga, berlainan dengan pandangan pertama da kedua, menurut pandangan yang ketiga ini bukan manusia yang membentuk manusia msyarakat adalah seprangkat cara keterkaitan tingkah laku yang telah ada sebelumnya.
Pandangan Al-Qur’an menyangkut masalah di atas berbeda sama sekali, meskipun ada sedikit kmiripan dengan pandangan yang ketiga. Beberapa terminology yang dipakai oleh Al-Qur’an lebih mendekati kepada pandangan yang ketiga. Al-Qur’an mengemukakan gagasan sejarah bersama, tujuan bersama, catatan bersama yang terhimpun dalam sebuah komunitas masyarakat. Dalam hal ini Al-qur’an menjelaskan dalam Q.S. Al-a’raf/ 7: 34
وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٌ فَإِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ لا يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً وَلا يَسْتَقْدِمُونَ
“Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu; maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak dapat (pula) memajukannya”.
Ayat ini menjelaskan tentang batas waktu kejyaan dan keruntuhan sebuah masyarakat. Batas waktu tersebut tidak bisa diajukan tidak bisa pula diundurkan. Dalam ayat yang lain Allah SWT. Berfirman:
وَتَرَى كُلَّ أُمَّةٍ جَاثِيَةً كُلُّ أُمَّةٍ تُدْعَى إِلَى كِتَابِهَا الْيَوْمَ تُجْزَوْنَ مَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
“Dan (pada hari itu) kamu lihat tiap-tiap umat berlutut. Tiap-tiap umat dipanggil untuk (melihat) buku catatan amalnya. Pada hari itu kamu diberi balasan terhadap apa yang telah kamu kerjakan”.
Dari ayat ini dapat dipahami bahwa bukan hanya individu yang ditentukan oleh catatan perbuatan sendiri , tetapi masyarakat juga ditentukan oleh catatan-catatan perbuatannya sendiri. Hal ini juga berarti masyarakat oleh Al-Qur’an diperlakukan sperti makhluk hidup yang sadar, bertanggung jawab atas perbuatan-perbuatannya, sebab ia bebas berkehendak dan bertindak.
Berdasarkan term-trem tersebut para mufasir berusaha untuk menjelaskan pengertian masyarakat lebih khusus lagi adalah masyarakat yang diidealkan Al-Qur’an. Dari kelompok mufassir klasik antara lain Ibnu Jarir al-Thabari ketika memberikan penelasan tentang masyarakat yang baik khususnya yang ditegaskan dalam Q.S. Ali Imran/3: 110 yang disebut dengan term khairu ummah adalah para sahabat yang ikut hijrah kemadinah bersama Rasulullah Saw. Pendapat al-Thabari ini didasarakan kepada beberapa riwayat yang menegaskan tentang kebaikan umat islam pada masa Rasulullah Saw. Pandanganyang sama juga disampaikan oleh Ibnu Kasir dengan menambahkan bahwa masyarakat yang baik bukan hanya ada pada masa Rasulullah Saw. Melainkan juga pada masa-masa sebelum Nabi Muhammad Saw diutus sampai hari kiamat dengan catatan Masyarakat tersebut melaksanakan hal-hal yang menjadi persyaratan sebagai sebuah masyarakat yang baik sebagaimana ditegaskan dalam surah Ali Imran 110.
Dari kalangan mufasir kontenporer secara umum ketika memberikan penjelasan tentang ayat-ayat yang berkaitan dengan masyarakat yang baik tidak berbeda jauh dengan apa yang telah dijelaskan oleh para mufassir terdahulu. Ibnu ‘Asyur dalam karya tafsirnya al-Tahrir menjelaskan bahwa Khairu Ummah yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah eksistensi komuitas masarakat yang baik pada masa lapau tampa terikat waktu tertentu.
Dari kalangan mufassir beraliran Syi’ah, Thabathabai dan al-Thabarsyi berpendapat tidak jauh berbeda dengan apa yang disampaikan oleh para mufasir yang telah dikutup di atas dengan memberikan penekanan tentang persyaratan utuk mencapai sebuah masyatakat yang baik (ideal) di antaranya pada aspek keimanan yang benar disamping ama ma’ruf nahi mungkar.
Dari pemaparan di atas terlihat mayoritas mufassir berpedapat bahwa masyarakat yang baik yang di cita-citakan oleh al-Qur’an adalah sebuah masyarakat muslim yang memenuhi syarat sebagaimana dijelaskan dalam A-Qur’an. Pandangan ini menutup rapat bagi komunitas masyarakat non muslim untuk menjadi sebuah masyarakat yang baik. Dalam realitasnya terlebih pada masa sekarang sulit rasanya untuk mengatakan bahwa masyarakat (Negara) yang mayoritas warganya muslim adalah sebuah masyarakat yang ideal.
B. SYARAT POKOK PERUBAHAN DALAM MASYARAKAT
Dari ayat-ayat Al-Qur’an dipahami bahwa perubahan baru dapat terlaksana bila dipenuhi dua Syarat pokok:
1. Adanya ilai atau ide
2. Adanya pelaku-pelaku yang menyesuaikan diri dengan nilai-nilai tersebut
Bagi umat islam, syarat ertama telah diambil alih sendiri oleh Allah SWT melalui petunjuk-petunjuk Al-Qur’an serta penjelasan Rasul Saw., walaupun sifatnya masih umum dan memerlukan perincian dari manusi. Adapun para pelakunya, mereka dalah manusia-manusia yang hidup dalam suatu tempat dan yang selalu terikat dengan hukum-hukum masyarakat yang ditetapkan itu.
Salah satu hukum masyarakat yang ditetapkan oleh Al-Qur’an menyangkut perubahan adalah yang dirumuskan dalam firman Allah SWT : . . . Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum (masyarakat) sampai mereka mengubah (terlebh dahulu) apa yang ada pada diri mereka (sikap mental mereka) . . . (Q.S.13:11).
Ayat ini berbicara tentang dua macam perubahan dengan dua pelaku: (a) perubahan masyarakat yang oelakunya adalah Allah SWT. (b) perubahan keadaan diri manusia yang pelakukannya adalah manusia. Perubahan yang dilakukan tuhan terjadi secara pasti melalui hukum-hukum masyarakat yang ditetapkan. Hukum-hukum tersebut tidak memilih atau membedakan antara satu masyarakat dengan masyarakat lainya. Siapapun yang mengabaikan akan digilasnya, sebagaimana yang terjadi kini pada masyarakat islam, dan sebagaimana pernah terjadi pada masyarakat yang dipimpin oleh Nabi sendiri dalam perang Uhud.
C. AN-NAHL 91
“Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah (mu) itu, sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpah itu). Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat”
Tafsir Q. S. An-Nahl 16: 91
Dalam ayat ini,allah swt memerintahkan kaum muslimin untuk menepati janji mereka dengan allah jika mereka suda mengikat janji itu. menuru Ibnu Jaribr, ayat-ayat ini di turunkan dengan bai’at (janji setia) kepada Nabi Muhammat Saw yg di lakukan oleh orang-orang yang baru masuk islam. Merekah di perintahkan untuk menepati janji setia yang telah mereka teguhkan dengan sumpah,dan mencegah merekah membatalkannya. Jumlah kaum muslimin yang sedikit janganlah mendorong mereka untuk membatalkan bai’at itu setelah melihat jumlah kaum musyrikin yang besar.
Menurut ayat ini, semua ikatan perjanjian yang dibuat dengan kehendak sendiri, wajib di panuhi baik perjanjian itu sesama kaum muslimin ataupun terhadap orang di luar islam. Allah SWT melarang kaum muslimin melanggar sumpah yang di ucapkan dengan mempergunakan nama Allah, kerena dalam sumpah seperti itu, Allah telah ditempatkan sebagai saksi, Allah akan memberi pahala bagi mereka yang memenuhi apa yang diucapkannya dangan sumpah atau membalas dengan azab bagi mereka yang mengkhianati sumpah itu, Sesungguhnya Allah mengetahui segala amal perbuatan manusia, Dialah yang mengetahui segala parjanjian yang di kuatkan dengan sumpah, dan mengetahui pula bagaimana mereka memenuhi janji dan sumpah itu.
Konteks ayat di atas seakan-akan membuat malu para muta’ahidin pemegang janji ketika mereka membatalkan sumpah-sumpahnya setelah mereka meneguhkan sendiri janji-janjinya itu. Sementara mereka telah menjadikan Allah sebagai saksi bagi mereka. Mereka pun memberikan kesaksian sumpah-sumpahnya kepada Allah dan menjadikan Allah sebagai saksi bagi mereka untuk menepatiny. Kemudian Allah mencakup mereka dalam yang sangat halus dari jankauan mereka, ’’Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.’’
Ajaran Islam sangatlah tegas tentang masalah penepatan terhadap sumpah ini dan tidak memberikan peluang toleransi sedikit pun dalam hal itu selamanya. Kerena masalah menepati sumpah ini adalah kaidah tsiqah “kepercayaan” yang tampanya ikatan suatu jama’ah akan berurai dan lepas.Konteks-konteks ayat di atas tidak hanya berhenti membahas pada masalah perintah menepati janji dan larangan membatalkannya. tapi mengikuti jalan yang di bawanya, juga menyampaikannya dengan cara memaparkan contoh-contoh, melarang keras pelanggaran terhadap sumpah, dan menafikkan (meniada-kan) sebab-sebab yang terkadang dijadikan alasan oleh mereka.
D. AN-NISA 115
“Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasinya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali” (Q. S. An-Nisa’: 115).
Tafsir Q. S. An-Nisa’ 4: 115
Allah SWT menegaskan bahwa orang-orang yang menentang Rosul setelah nyata baginya kebenaran dan kebenaran risalah yang di bawahnya, serta mengikuti jalan orang-orang yang menempuh dari jalan kebenaran,maka Allah SWT membiarkan mereka menempuh jalan sesat yg di pilinya itu kemudian dia akan memasukan naraca kedalam neraka jahannam, tempat kembali yang seburuk-buruknya.
Ayat ini erat hubungannya dengan tindakan Thu’mah dan pangikut pengikutkannya, dan perbuatan orang-orang yang bertindak seperti yang di lakukan Thu’mah itu.
Dari ayat ini di fahami bahwa Allah SWT menganuhgerahkan kepada manusia kemauan kebebasan memilih,pd ayat Al-Qur’an. yang lain di terangkan pula bahwa Allah SWT telah menganuhgarakan akal, pikiran dan perasa’an serta melengkapinya dengan petunjuk-petunjuknya yang di bawah para Rosul, jika manusia menggunakan dengan baik semua anuhgerah Allah itu, pasti ia dapat mengikuti jalan yang benar.
Tetapi kebanyakan manusia mementingkan dirinya sendiri mengikuti hawa nafsunya, sehinga ia tidak menggunakan akal, pikiran, perasaan, dan petunjuk-petunjuk Allah SWT dalam menetapkan dan memilih perbuatan yang patuh dikerjannya, kerna itu manusia yang menantang dan memusuhi para Rosul, setelah nyata bagi mereka kebenaran dan ada pula manusia yang amat suka mengerjakan pekerjaan -pekerjaan jahat, sekalipun hatinya mengakui kesalahan perbuatannya itu.
Allah SWT menilai perbuatan-perbuatan manusia, kemudian dia menberi balasan yang setimpal. ’amal baik dibalas dengan pahalah yang berlipat ganda, perbuatan buruk diberi balasan yang setimpal dengan perbuatan itu.
Allah SWT melarang orang-orang yang beriman berbisik-bisik secara rahasia, melakukan sesuatu yang di terlarang seperti yang telah di lakukan Thu’mah dan pengikut pengikutnya, kecuali berbisik-bisik secara rahasia dalam bersedekah, berbuat ma’ruf dan mengadakan perdamaian di antara manusia. Allah SWT membiarkan manusia mengikuti kemauan kehendaknya sendiri setelah diberi akal, pikiran, perasaan dan petunjuk. Kemudian Allah SWT akan memberi penilaian terhadap perbuatan itu dan membalasnya dengan adil dan bijaksana.
Asbabun Nuzul Q. S. An-Nisa 4: 115
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa di antara keluarga serumah Bani Ubairiq, yaitu Bisyr dan Mubasyir terdapat seorang munafiq yang bernama Busyair yang hidupnya melarat sejak jahiliyyah. Ia pernah mengubah syiir untuk mencaci maki para shahabat Rasulullah Saw. Dan menuduh bahwa syiir itu ciptaan orang lain.
Pada suatu ketika Busyair Bin al-Harts membongkar gudang Rifa’ah bin Zaid (paman qatadah bin Nu’am) dan mencuri makanan dan seperangkat baju besi. Qatadah mengadu kepada Nabi Saw. Akan teapi ia mungkir, malah menuduh Labib Bin Sahl seoarang bansawan lagi hartawan. Maka turunlah Q.S. An-Nisa 4: 105 yang menerangkan bahwa Busyair pendusta sedangkan labib seorang yang bersih.
Setelah turun ayat tersebut (S. 4:105) yang menunjukkan kepalsuan Buyair, ia murtad dan lari ke mekah meggabungkan diri kepada kaum musyrikin serta menumpang dirumah Sulfah binti sa’ad. Ia mencaci maki Nabi dan kaum muslimin maka turunlah ayat selanjutnya (Q.S. An-Nisa 4: 115) berkenaan dengan peristiwa busyair ini. Kemudian Hasan bin Tsabit mengubah Sayi’ir menyindir Busyair sehingga ia kembali pada bulan Rabi’ tahun ke empat Hijrah.